Sejarah banjir Jakarta memang sangat panjang,
secara geografis wilayah jakarta berada di bawah 2,5 meter permukaan laut. Hal
ini menyebabkan potensi banjir akan selalu menghantui kota Jakarta. Secara
toponimi banyak wilayah Jakarta bernama pulo, rawa dan setu hal ini dapat
dikaitkan dengan tempat berkumpulnya air pada musim hujan. Sedangkan wilayah
Jawa Barat diwilayah selatannya sangat banyak dijumpai wilayah bernama awalan
Bojong (bahasa sunda) yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah sumber mata
air.
Catatan pertama perihal banjir Jakarta
terdapat pada Prasasti Tugu, prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara.
Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh
Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22
masa pemerintahannya Abad Ke-5 Masehi. Penggalian sungai tersebut merupakan
gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada
masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
foto: sumber kompas.com 17/01/2013
Pada 1620 pemerintah VOC mulai memanfaatkan
potensi banjir ini dengan membangun kanal-kanal yang lurus agar aliran
banjir dapat dengan cepat teralirkan ke laut. Kanal-kanal ini juga sangat
membantu dalam perdagangan VOC. Karena indahnya kota Batavia para pedagang
Internasional memberi nama sebutan Batavia Queen of The East untuk
Batavia. Namun penataan ini tidak dilanjutkan ketika
pemerintahan Napoleon Bonaparte 1808-1811 dan Perancis menggantikan posisi VOC
di Batavia. Kanal-kanal yang sudah ada di urug dengan sisa-sisa pembongkaran
Benteng Batavia.
Hal ini membuat aliran sungai menjadi terhambat
yang menyebabkan timbulnya sumber penyakit seperti kolera dan malaria. Bencana epidemi
ini memaksa pemerintah Belanda untuk membangun kota secara lebih luas ke
selatan yang nantinya disebut sebagai Weltevreden, dengan Manggari
sebagai batas akhirnya. Daerah ini cenderung lebih sehat dibandingkan dengan
kota Batavia yang berpusat di Jakarta Utara. Namun Banjir besar di Jakarta tetap terjadi dan
tercatat dalam sejarah pemerintahan Belanda yaitu pada tahun 1918. Hampir
seluruh Jakarta terendam. Kala itu wilayah Jakarta masih belum seluas sekarang.
Salah satu yang paling parah adalah kawasan Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Pada
saat pemerintahan Indonesia Sungai Ciliwung, sebagai sungai terbesar
pengaruhnya terhadap wilayah Jakarta, dalam sejarahnya mempunyai interval
banjir besar 50 tahunan sejak tahun 1800an sampai tahun 1914. Namun menjadi
semakin pendek 10 tahunan pada periode 1915-1960an dan pada periode selanjutnya 1960an sampai akhir
tahun 1992 siklus banjir besar menjadi 5 tahunan. Pada masa sekarang di periode
tahun 2000an siklus semakin pendek hingga di bawah 3 tahun sekali. Banjir besar
tercatat diatas tahun 2000 adalah pada tahun 2004, 2007 dan sekarang 2013 yang
selalu menimbulkan korban jiwa dan materi.
Rizky Afriono
Koordinator Nasional
Jaringan Info Bencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar