Cerpen ini dipersembahkan untuk:
kawan-kawan Mapala UI , Mapala Sejabodetabek, WANADRI, BASARNAS, TAGANA, TNI, POLRI dan Seluruh Pihak dan Sukarelawan Banjir (Posko Pluit Khususnya)
@JrngInfoBencana
Lampu remang-remang menyinari dari setiap sudut ruangan disebuah kampus di Depok, ya sebuah sekretariat dari Organisasi MAPALA UI, banyak langkah kaki didalam ruangan tersebut seperti irama kuda yang berpacu. Ya, memang hari ini sangat sibuk, Banjir Jakarta seakan ada disetiap titik.Segala peralatan evakuasi seperti perahu, kayak, dayung, helm ,cornmantel, dry bag diselipkan pada ruang mobil 4 WD, mobil tersebut seakan ingin memuntahkan kembali semua logistik dan peralatan yang dibawa. Suasana terbucah "kemana kita akan pergi" celotehan keluar dari miulut salah satu rombongan, ketua tim memberikan arahan untuk menuju lokasi banjir yang belum tersentuh.
Dimanakah tempat tersebut, dalam hati seakan bertanya-tanya, namun kegusaran segera hilang. Karena dengan lantang ketua tim berucap. "Ke utara disana kita akan memulai evakuasi", disana banyak pemukiman yang pastinya tergenang oleh banjir karena tertahan oleh naiknya permukaan laut. Pluit dan Rawabuaya. makan tim dibagi menjadi 2 tanpa basa-basi mereka segera meluncur kesana, tepat pukul 21.00 tertanggal 18 Januari 2013. Radio yang dibunyikan menemani mereka didalam mobil, namun suasana di luar sungguh berbeda, ibu kota terasa sepi,orang-orang pulang kerja kearah selatan seakan-akan tidak ada suatu masalah di utara Jakarta.
Mengantuk pasti, namun ruangan yang sempit dan berdesakan memaksa mata mereka untuk tetap terbuka. Sesampainya di Jembatan Gantung Jakarta Utara. Mereka segera berkordinasi dengan Posko MAPALA SEJABODETABEK, suasana posko yang memakai ruangan mesjid, tampak tenang. Disana hanya terlihat wajah-wajah lelah para mahasiswa sukarelawan yang habis berjuang melakukan pendataan dan pendistribusian logistik didaerah Jakarta Utara. Sambutan hangat dengan diselingi candaan-candaan lucu menambah suasana semakin berwarna.
Salah satu mahasiswa dengan perawakan kurus gondrong dengan celana pendek, menjelaskan " bahwa di Jakarta Utara terdapat 22 titik banjir dan hampir 20 titik sangat sulit untuk ditembus. Pertama karena rata-rata pemukiman padat dengan gang-gang sempit. Posko yang ada pada titik-titik banjir pada saat ini dibentuk oleh kordinasi masyarakat korban banjir sendiri seperti organisasi kepemudaan atau karang taruna."Beginilah kondisi di Rawa Buaya dan sekitarnya" "kami sangat minim logistik untuk didistribusikan dan sangat memerlukan kendaraan bermotor seperti mobil"
Grrrr.grrrr.grrr dering HP memaksa salah satu mahasiswa untuk mengangkatnya ditengah obrolan, di kejahuan terdengar "apa" ya, tim akan segera merapat ke Pluit. "Lokasi Rawabuaya memang sangat memerlukan evakuasi namun aksesnya sangat sulit". 'Segera merapat ke pluit kemungkinan terdapat ribuan warga didalamnya dan peralatan yang kita bawa sangat memungkinkan untuk digunakan'. Memang keputusan yang sulit, tapi memang harus dengan cepat diambil keputusan. "Oke kami segera merapat", teman-teman posko PKD Mapala Sejabodetabek mengantarkan hingga gerbang kapus SatyaGama, salah seorang berujar. Tolong di komunikasikan bahwa "Jakarta Utara sangat memerlukan logistik" dengan suara parau akibat kelelahan.
Melewati tol seakan melewati jalan biasa, karena dikanan-kiri kita dapat melihat kendaraan roda dua berpacu dengan asiknya. Yah memang kebijakan dari pengelola tol untuk membuka akses untuk kendaraan roda dua selama banjir. Di ujung pintu tol dari kejauhan kita dapat melihat mal emporium Pluit berdiri dengan gagahnya, namun suasana sungguh menyeramkan sisa-sisa banjir dengan sampah-sampahnya ada di mana-mana. Truk personil marinir berada tepat di depan RS. Atma Jaya. Segera mereka memarkirkan mobilnya disamping tim yang sudah tiba lebih dahulu.
foto: kompas.com 21 Januari 2013http://megapolitan.kompas.com/read/2013/01/22/12133697/Mahasiswa.Relawan..Menyentuh.Korban.Banjir.yang.Tak.Tersentuh
Tampak seorang mahasiswa sibuk menulis pada sebuah agenda kecilnya, "hei kemana anak-anak", dari tim yang baru tiba. "Anak-anak ke sudah masuk kedataran banjir untuk melihat keadaan sekalian mengantarkan logistik ke apartemen laguna". "Dimana posisi laguna itu" seorang bertopi bertanya, "hemmm kira-kira berada ditengah-tengah dataran banjir sekitar 45 menit mendayung pelan" jawabnya. Tiba-tiba dari kejauhan muncul beberapa mobil 4 WD bertuliskan ORARI, delapan pemuda turun dengan syal orange menyala dengan bacaan WANADRI.
Seorang keluar dengan rambut gondrong dan jaket gunung berwarna merah. Orang tersebut disebut sebagai Komandan oleh rekan-rekanya. Segera mereka menghampiri tim Mahasiswa tersebut, mereka berkordinasi dan Komandan "menanyakan apakah tim sudah menjelajahi area banjir". "Belum" ucap seorang mahasiwa, i, sambil membuka sebuah peta jakarta dan menunjukan perkiraan luas area banjir. Waktu sudah menunjukan pukul 02.13 tertanggal 19 Januari 2013. Tiba-tiba seorang datang dengan tergesa-gesa dia berkata. "Pak tolong pak saya punya anak buah tapi dari kemarin tidak mau dievakuasi", "apakah bapak dapat menolong?. "Air semakin meninggi pak, saya mempunyai license divemaster biar nanti saya yang menuju lokasi anak buah saya, karena perahu karet tidak dapat memasukinya". Seorang pria bertopi diantara rekan-rekan mahasiswa mengiyakan dan berkata, "Pak, nanti bapak tidak diving dalam ruang tertutup kan". "Tidak Pak, ruang terbuka dipingir jalan jalur Busway".
Tim segera menurunkan perahu dari atas mobil, pelampung, dayung, drybag dan sebagainya dibawa demi keselamatan. Mendayung dengan perlahan diwaktu malam gelap. Dikanan-kiri dapat terlihat rumah-rumah yang terendam sepertiganya. Harus diketahui bahwa rumah-rumah yang mereka lewati umumnya bertingkat tiga, sehingga banjir 1,5 meter tidak terlalu berpengaruh terhadap keselamatan penghuni rumah. Namun mobil-mobil mewah terlihat bagai sedang dimandikan oleh air yang berwarna kecoklatan, seorang pria yang ikut dalam tim berkata "itu mobil kayaknya harganya 1,5 milyar deh". Mereka hanya mengeleng-gelengkan kepalanya seakan mencoba mengkalkulasi kerugian yang disebabkan banjir kali ini.
"Pak toyo,,pak toyo !!" sautan dari perahu memecah keheningan. "Ya kami" suara terdengar dari balik rumah penjaga pohon bonsai. "Tolong pak kami udah ga mau lagi disini". Perahu segera mendekati rumah tersebut dan dengan pakaian lengkap seorang penyelam namun tanpa tabung. Pria yang tadi meminta pertolongan kepada tim evakuasi menceburkan diri dan berenang menggunakan snorkling. Ia mendekati rumah yang hampir habis atapnya terendam banjir. Terdengarlah pembicaraan dengan nada meninggi "kan udah gue bilang, kerja sich kerja, tapi ga gini juga !, kalo banjir udah tinggalin aja ni rumah jaga pohon bonsai!". "Lu bikin w degdegan aja". "Sory bos" ucap dari pria sekitar berumur 50 tahunan.
Segera setelah naik perahu karet, salah seorang berkata, "eh tadi w liat ada pala uler muncul lumayan gede ada setelapak tangan". "Paling ular sanca" ucap pria 50 tahunan tadi. Pria penyelam selama perjalanan ke tempat yang tidak banjir bercerita bahwa ia besok akan membantu evakuasi basement UOB, ia berkata "saya diminta oleh perkumpulan selam, namun syaratnya sudah pernah rescue". Sesampainya dititik tidak banjir segera ia turun bersama anak buahnya dan berucap "terima kasih adik-adik". Sangat lelah rasanya ketiga mahasiwa itu. Namun tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang berkata, "Pak bolehkah perahu ini saya sewa". "Tidak bu perahu ini tidak disewakan kami stand by untuk memprioritaskan korban yang harus dieavkuasi" ucap seorang pria bertopi. Berselang 15 menit datang seorang bapak-bapak meminta tolong dengan sangat untuk mengevakuasi keluarganya yang terjebak banjir, maka tim segera berangkat, 3 jam dihabiskan untuk mengevakuasi keluarga tersebut yang terletak di dekat danau pluit.
Sesampainya di posko sekitar jam 8 pagi, datang lah seorang pria, dia adalah salah satu warga yang dikirim dari Muarabaru untuk menyampaikan bahwa terdapat 20 ribu warga terisolasi dimuara baru. "Pak tolong pak sudah dari hari kamis warga terisolasi dan sekarang kelaparan". Berarti sudah 3 hari warga terjebak tanpa adanya bantuan logistik. Seorang wanita dari tim MAPALA UI berkordinasi dengan BASARNAS dan berkata " Pak ada 20 ribu warga yang terjebak di Muarabaru, "tim kami kemarin sudah kesana namun sangat sulit aksesnya jadi kami hanya sampai di gang Mesjid" ucapnya". "Oke-oke" ucap dari salah satu komandan BASARNAS, "kami juga tidak punya logistik kami menunggu suplai dari BNPB".
Jam 9an didirikan tenda biru dengan bacaan Budha Tzuchi, segera tim berkordinasi dan meminta logistik untuk segera disalurkan ke Muarabaru. Seorang mahasiwa berbadan tegap berkatan "w dapet SMS bahwa ada 2 orang terjebak di sekolah cambridge dan satunya sakit". Tim segera makan seadaanya, "hem nikmat sekali gado-gado nasi ini mungkin berkah dari tuhan untuk mengisi tenaga kami kembali", ucap salah seorang mahasiswa". Segera tim berangkat, namun baru beberapa meter dari batas banjir datanglah Crew dari TV One dengan membawa dokter dan dua orang gadis remaja. Mereka berkata, perahu mesin marinir rusak "bolehkah kami ikut". Seorang gadis dengan mata berkaca-kaca di "muara baru parah" banyak yang sakit bahkan bisa meninggal".
Pikiran kami seakan terbelah, namun karena situasi Muarabaru paling urgent, maka kami mengambil keputusan untuk segera mengantarkan dokter ini ke Muarabaru. Crew TV One selama perjalanan meliput dan melakukan siaran langsung diatas perahu. Kami laporkan dari "Muarabaru" ucap seorang presenter. "Bang ini belum nyampe Muarabaru paling baru 1/4 perjalanan". Ternyata untuk mencapai muara baru sangatlah jauh, ditambah kami menggunakan perahu karet yang pergerakanya tergantung dayung dan tenaga kami. Didepan pintu gerbang perumahan ditanggul menggunakan karung-karung tanah, terdapat sebuah gang kecil. Disitulah awal tim memasuki wilayah Muarabaru yang terisolasi, gangnya sangat kecil, dari sana keluar rakit-rakit kecil yang dibuat seadanya oleh warga. Ada yang terbuat dari gabus, ban, bambu, derigen, bahkan yang paling anyar kulkas.
Saking sempitnya perahu harus beberapa kali dimiringkan, selama perjalanan warga meminta. "Pak logistik dong pak, jangan ke hanya rumah susun Muarabaru, kami disini juga ada yang sakit dan kelaparan" ucap seorang ibu-ibu muda dari balik rumahnya yang tenggelam dilantai pertamanya. Rumah-rumah disekitar gang tersebut memang tergolong tidak layak huni, terbuat dari kayu-kayu dan triplek seadaanya dan berbentuk bertingkat-tingkat menyerupai rumah-rumah yang sering kita lihat dipinggir Kali Ciliwung. Selama perjalanan kami membagikan logistik yang ada. Karena jalan semakin sempit maka pada waduk pluit tim diberi masukan. "Pak sumpah pak lewat waduk aja biar cepet", "aman pak", "pompa airnya sudah mati" ucap seorang pemuda diatas rakit kayu.
Maka tim mengambil keputusan untuk melewati waduk tersebut, skiperr (red.komandan perahu) berucap. "oke siap dayung satu-dua-satu-dua", sambil beberapakali menundukan kepala melewati kabel yang sudah malang-melintang dimana-mana. Sebelum memasuki wilayah rumah susun didepan sebuah rumah seorang gadis yang berada diperahu menangis, "Bude-bude ini makanan buat bude, sengaja (nama disamarkan) belikan buat bude", suasana haru semakin menyelimuti setiap orang yang ada diperahu. Sesampai dirumah susun bocah-bocah segera berlarian dengan senang, mendorong-dorong perahu dengan gembira. Seorang ibu-ibu dari balik warung berkata " heh jangan didorong-dorong entar w pada bilangin ke emaklu".
Segera warga turun dari gedung pertama rumah susun, suasana sungguh tidak memungkinkan, seluruh logistik yang ada baik makanan ataupun air diambil secara acak oleh warga yang sangat banyak apabila dibandingkan dengan logsitik yang dibawa. Dokter segera berucap. "saya akan mendirikan posko medis pertama di Muarabaru, ya di rumah susun ini". Seorang perwakilan warga berkata disini ada 3 gedung yang dihuni 700 kepala keluaraga dengan total populasi lebih dari 2500 jiwa. Kami merasa tersentak, bagaimana kami mengevakuasi atau mendistribusikan logistik dengan wilayah area banjir yang luas, pemukiman yang padat, gang-gang yang sempit dan puluhan ribu warga yang tetap bertahan. Awan dikejauhan semakin terang, seterang pikiran para Mahasiswa Sukarelawan tersebut seakan terbang menggapai putihnya cahaya, hari demi hari, jam per jam, seperdetik seakan sangat berarti dalam situasi Darurat Bencana. -Selesai-.
penulis
Rizky Afriono